Faktor pendorong yang melatarbelakangi
munculnya inisiatif untuk melakukan kegiatan rehabilitasi dan tujuannya sangat
dipengaruhi oleh fokus pengelolaan kehutanan pada masing-masing periode. Faktor
pendorong kegiatan rehabilitasi selama zaman pra-kolonial adalah budaya dan
kepercayaan. Selama periode tersebut, tujuan rehabilitasi adalah melindungi
masyarakat dan menjamin kehidupan yang lebih baik bagi generasi penerusnya
dengan menanam pohon jati. Pada tingkat proyek, faktor pendorong di balik
kegiatan rehabilitasi, menurut persepsi anggota masyarakat dan staf proyek,
mencakup aspek sosialekonomi, politik, dan ekologi. Perkembangan faktor
penyebab dan tujuan kegiatan rehabilitasi nasional di Indonesia umumnya
berfokus pada konservasi tanah dan air, peningkatan produktivitas hutan dan
lahan, dan perbaikan tingkat kesejahteraan masyarakat.
A . Konservasi tanah dan air
Eksploitasi sumberdaya alam yang
berlebihan selama masa penjajahan Belanda dan Jepang merupakan penyebab utama
yang melatarbelakangi usaha rehabilitasi selama periode kolonial hingga tahun
1960-an. Tujuan utamanya adalah menjaga tujuan nasional sejarah dan karakteristik
kegiatan rehabilitasi hidrologi hutan melalui konservasi tanah dan air serta
permudaan hutan berdasarkan sistem tumpang sari.Konservasi tanah dan air
diartikan sebagai usaha untuk memelihara, merehabilitasi dan meningkatkan
kapasitas penggunaan lahan sesuai dengan klasifikasi penggunaan lahan
(Departemen Kehutanan 1998).
Oleh karena itu, tujuan praktek
konservasi tanah dan air adalah untuk meningkatkan produktivitas dan mengurangi
dampak negatif dari pengelolaan lahan (terutama pengolahan tanah), seperti
erosi dan sedimentasi (BP2TPDAS 2002). Pada prinsipnya, terdapat tiga metoda
konservasi tanah dan air, yakni vegetatif, fisik-mekanik dan kimia (Agus dan
Widianto 2004; Arsyad 2000). Metoda fisik-mekanik lebih dikenal dengan sebutan
metoda sipil teknis.Konservasi tanah dan air, terutama setelah bencana banjir
besar pada daerah aliran sungai di sekitar Solo yang terjadi pada tahun 1966,
merupakan fokus utama kegiatan rehabilitasi hingga tahun 1970-an. Kegiatan
tersebut terutama berupa tindakan penanggulangan erosi tanah di daerah dataran
tinggi (hulu sungai) sebagai akibat dari deforestasi dan praktek pertanian yang
tidak tepat. Hasil pengamatan terhadap tingkat sedimentasi di beberapa daerah
aliran sungai di Jawa Barat, Tengah dan Timur (Mursidin et al. 1997),
menunjukkan bahwa tingkat erosi tanah yang terjadi di wilayah dataran tinggi
pulau Jawa cukup memprihatinkan.
Selama tahun 1970-an dan 1980-an,
kegiatan penebangan hutan yang dilakukan secara besar-besaran yang telah
menyebabkan terjadinya bencana alam serta semakin luasnya wilayah terdegradasi,
tetap menjadi faktor penting yang mendorong kegiatan rehabilitasi. Pada awal
tahun 1970-an, sebagian besar wilayah terdegradasi terkonsentrasi hanya di
pulau Jawa. Usahatani konservasi di lahan miring dengan menerapkan metode
konservasi tanah dan air, yang mengkombinasikan teknik vegetatif dan sipil
teknis, merupakan sistem yang paling efektif dan digunakan secara luas,
khususnya di pulau Jawa.Pada umumnya, proyek dijalankan untuk mengatasi masalah
erosi di daerah dataran tinggi yang curam serta banjir di daerah hilir sebagai
akibat dari deforestasi dan berbagai kegiatan pertanian.
Pada pertengahan tahun 1970-an dan awal
tahun 1980-an, intensifikasi pertanian untuk meningkatkan keswasembadaan
masyarakat dalam memproduksi tanaman pangan mulai menjadi bagian dari tujuan
proyek. Proyek konservasi pertama yang menekankan pada aspek mata pencaharian
masyarakat adalah inisiatif yang didanai oleh FAO pada tahun 1973 (Mursidin et
al. 1997). Melalui Proyek Perlindungan Daerah Aliran Sungai Solo Hulu, berbagai
model pengelolaan daerah aliran sungai dan teknik konservasi tanah dan air
diuji untuk menanggulangi banjir dan mengelola lahan di daerah hulu dengan
tujuan menyediakan lahan pertanian yang produktif bagi masyarakat.
Sejak diberlakukannya Tata Guna Hutan
Kesepakatan (TGHK) pada tahun 1984, konservasi telah menjadi tujuan khusus pada
kegiatan rehabilitasi di kawasan hutan lindung dan hutan konservasi. Tujuan
utama kegiatan rehabilitasi di kawasan hutan lindung adalah perbaikan fungsi
ekologi, sedangkan di kawasan hutan konservasi adalah pelestarian
keanekaragaman hayati. Namun, usaha tersebut masih belum efektif dan terhambat
oleh berbagai masalah, antara lain, penebangan liar, kebakaran hutan dan
perambahan hutan yang disebabkan oleh tekanan dari peningkatan jumlah penduduk
serta persaingan penggunaan lahan.
B. Meningkatkan produktivitas
hutan dan lahan, serta kesejahteraan masyarakat
Semakin luasnya wilayah hutan yang
terdegradasi sebagai akibat dari kegiatan penebangan oleh perusahaan HPH yang
tidak bertanggung jawab, tidak hanya di pulau Jawa melainkan juga di luar Jawa
seperti Sumatera dan Kalimantan, tetap menjadi faktor pendorong utama yang
melatarbelakangi program rehabilitasi di Indonesia pada kurun waktu antara
tahun 1980-an dan 1990-an. Saat itu, tujuan utama dari berbagai kegiatan
rehabilitasi adalah mengembalikan produktivitas lahan hutan dan melestarikan
ekosistem hutan.
Program
meliputi rehabilitasi areal bekas penebangan melalui pengembangan hutan tanaman
(HTI) menggunakan spesies cepat tumbuh, terutama di Sumatera, Kalimantan dan
Sulawesi (Widarmana 1984). Tujuan utama adalah peningkatan produktivitas hutan
untuk mengurangi tekanan pada hutan alam. Namun demikian, sebagaimana dibahas
pada tidak semua hutan tanaman
dikembangkan pada wilayah terdegradasi, dan telah mengakibatkan semakin
meluasnya kawasan hutan yang rusak dan perlu direhabilitasi. Hal ini disebabkan
oleh banyaknya areal HTI yang ditinggalkan karena sebagian besar pengusaha
hanya tertarik pada hak IPK (Izin Pemanfaatan Kayu) melalui penebangan habis
tegakan sisa.Pada tingkat proyek, faktor pendorong menjadi semakin kompleks
sejak tahun 1980-an, terutama yang menyangkut aspek-aspek sosial-ekonomi yang
sesungguhnya berawal dari rendahnya tutupan dan produktivitas hutan.
Faktor-faktor tersebut meliputi kemiskinan
atau rendahnya pendapatan masyarakat, terbatasnya sumber matapencaharian dan
berkurangnya pasokan kayu serta hasil hutan bukan kayu. Pada saat yang
bersamaan terdapat pula kebutuhan untuk meningkatkan kesadaran dan menangani
pertumbuhan jumlah penduduk yang pesat. Oleh sebab itu, tujuan utama proyek
rehabilitasi saat itu adalah meningkatkan tutupan hutan dan lahan, memproduksi
kayu, pakan ternak dan kayu bakar, dan pada saat yang bersamaan, melindungi daerah
aliran sungai kegiatan rehabilitasi menjaga fungsi ekologi hutan dan
melestarikan tanah dan air.
Perluasan tutupan hutan dan lahan akan
mengurangi aliran permukaan, yang pada gilirannya akan mengurangi banjir dan
sedimentasi. Dengan meningkatnya tutupan hutan dan lahan maka produktivitas
hutan (termasuk hasil kayu maupun bukan kayu) akan meningkat dan kelestarian
daerah aliran sungai akan terjamin.Rendahnya tutupan dan produktivitas hutan,
erosi tanah, banjir, kebakaran dan kurangnya sumber air bersih merupakan
masalah yang dominan dan kompleks yang memicu perlunya rehabilitasi hutan.
Sesungguhnya, erosi, banjir dan kurangnya
sumber air bersih semuanya merupakan dampak dari rendahnya tutupan hutan.
Dengan demikian, berkurangnya tutupan dan produktivitas hutan dan lahan
merupakan faktor pendorong utama untuk aspek ekologi yang melatarbelakangi
kegiatan rehabilitasi; sementara banjir dan sedimentasi merupakan faktor
penyebab tidak langsung. Tetapi pada kenyataannya, banjir dan tanah longsor
cenderung menjadi faktor pendorong yang sangat kuat dan emosional untuk
kebijakan dan pendanaan suatu proyek. Secara ekologi, dengan rendahnya tutupan
hutan maka hutan tidak dapat memenuhi perannya sebagai penyangga lingkungan
terutama dalam mencegah erosi tanah dan melestarikan sumber air. Hal ini
mungkin dapat memperparah dampak bencana alam seperti longsor, banjir, dsb.
Pada dasarnya, kegiatan rehabilitasi
berusaha untuk meningkatkan tutupan lahan dengan cara menanam pohon yang akan
menghasilkan tutupan lahan secara optimal melalui pembentukan multi lapisan
tajuk.Sejak tahun 1980-an, tekanan dari komunitas internasional atas
pengelolaan hutan yang lebih baik juga semakin meningkat, termasuk rehabilitasi
kawasan hutan yang terdegradasi. Timbulnya inisiatif dari berbagai lembaga
telah mendorong pemerintah untuk segera melakukan rehabilitasi di wilayah yang
rusak demi mengurangi kecaman dari luar negeri. Situasi tersebut timbul ketika
banyaknya bantuan dana dari donor serta munculnya inisiatif multi-pihak yang
menjadi faktor pendorong dominan kegiatan rehabilitasi.Dari tahun 1990-an
hingga sekarang, program rehabilitasi dilaksanakan sebagai reaksi terhadap
semakin rumitnya permasalahan dan faktor yang menyebabkan degradasi, antara
lain adalah: penebangan yang berlebihan, kebakaran hutan, perambahan dan
konversi hutan serta penebangan liar.
Oleh sebab itu, mempunyai tujuan ganda
merupakan karakteristik penting kegiatan rehabilitasi pada periode ini,
khususnya program rehabilitasi yang mengakomodir tujuan untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat dan memproduksi lebih banyak kayu dari hutan tanaman.
Hal ini dilakukan untuk memenuhi kebutuhan nasional akan kayu dengan
merehabilitasi lahan kritis, baik di dalam maupun di luar kawasan hutan.