Sabtu, 31 Desember 2011

Tujuan rehabilitasi dari konservasi hingga peningkatan kesejahteraan masyarakat


        Faktor pendorong yang melatarbelakangi munculnya inisiatif untuk melakukan kegiatan rehabilitasi dan tujuannya sangat dipengaruhi oleh fokus pengelolaan kehutanan pada masing-masing periode. Faktor pendorong kegiatan rehabilitasi selama zaman pra-kolonial adalah budaya dan kepercayaan. Selama periode tersebut, tujuan rehabilitasi adalah melindungi masyarakat dan menjamin kehidupan yang lebih baik bagi generasi penerusnya dengan menanam pohon jati. Pada tingkat proyek, faktor pendorong di balik kegiatan rehabilitasi, menurut persepsi anggota masyarakat dan staf proyek, mencakup aspek sosialekonomi, politik, dan ekologi. Perkembangan faktor penyebab dan tujuan kegiatan rehabilitasi nasional di Indonesia umumnya berfokus pada konservasi tanah dan air, peningkatan produktivitas hutan dan lahan, dan perbaikan tingkat kesejahteraan masyarakat.

A . Konservasi tanah dan air

      Eksploitasi sumberdaya alam yang berlebihan selama masa penjajahan Belanda dan Jepang merupakan penyebab utama yang melatarbelakangi usaha rehabilitasi selama periode kolonial hingga tahun 1960-an. Tujuan utamanya adalah menjaga tujuan nasional sejarah dan karakteristik kegiatan rehabilitasi hidrologi hutan melalui konservasi tanah dan air serta permudaan hutan berdasarkan sistem tumpang sari.Konservasi tanah dan air diartikan sebagai usaha untuk memelihara, merehabilitasi dan meningkatkan kapasitas penggunaan lahan sesuai dengan klasifikasi penggunaan lahan (Departemen Kehutanan 1998).

      Oleh karena itu, tujuan praktek konservasi tanah dan air adalah untuk meningkatkan produktivitas dan mengurangi dampak negatif dari pengelolaan lahan (terutama pengolahan tanah), seperti erosi dan sedimentasi (BP2TPDAS 2002). Pada prinsipnya, terdapat tiga metoda konservasi tanah dan air, yakni vegetatif, fisik-mekanik dan kimia (Agus dan Widianto 2004; Arsyad 2000). Metoda fisik-mekanik lebih dikenal dengan sebutan metoda sipil teknis.Konservasi tanah dan air, terutama setelah bencana banjir besar pada daerah aliran sungai di sekitar Solo yang terjadi pada tahun 1966, merupakan fokus utama kegiatan rehabilitasi hingga tahun 1970-an. Kegiatan tersebut terutama berupa tindakan penanggulangan erosi tanah di daerah dataran tinggi (hulu sungai) sebagai akibat dari deforestasi dan praktek pertanian yang tidak tepat. Hasil pengamatan terhadap tingkat sedimentasi di beberapa daerah aliran sungai di Jawa Barat, Tengah dan Timur (Mursidin et al. 1997), menunjukkan bahwa tingkat erosi tanah yang terjadi di wilayah dataran tinggi pulau Jawa cukup memprihatinkan.

      Selama tahun 1970-an dan 1980-an, kegiatan penebangan hutan yang dilakukan secara besar-besaran yang telah menyebabkan terjadinya bencana alam serta semakin luasnya wilayah terdegradasi, tetap menjadi faktor penting yang mendorong kegiatan rehabilitasi. Pada awal tahun 1970-an, sebagian besar wilayah terdegradasi terkonsentrasi hanya di pulau Jawa. Usahatani konservasi di lahan miring dengan menerapkan metode konservasi tanah dan air, yang mengkombinasikan teknik vegetatif dan sipil teknis, merupakan sistem yang paling efektif dan digunakan secara luas, khususnya di pulau Jawa.Pada umumnya, proyek dijalankan untuk mengatasi masalah erosi di daerah dataran tinggi yang curam serta banjir di daerah hilir sebagai akibat dari deforestasi dan berbagai kegiatan pertanian.

      Pada pertengahan tahun 1970-an dan awal tahun 1980-an, intensifikasi pertanian untuk meningkatkan keswasembadaan masyarakat dalam memproduksi tanaman pangan mulai menjadi bagian dari tujuan proyek. Proyek konservasi pertama yang menekankan pada aspek mata pencaharian masyarakat adalah inisiatif yang didanai oleh FAO pada tahun 1973 (Mursidin et al. 1997). Melalui Proyek Perlindungan Daerah Aliran Sungai Solo Hulu, berbagai model pengelolaan daerah aliran sungai dan teknik konservasi tanah dan air diuji untuk menanggulangi banjir dan mengelola lahan di daerah hulu dengan tujuan menyediakan lahan pertanian yang produktif bagi masyarakat.

      Sejak diberlakukannya Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) pada tahun 1984, konservasi telah menjadi tujuan khusus pada kegiatan rehabilitasi di kawasan hutan lindung dan hutan konservasi. Tujuan utama kegiatan rehabilitasi di kawasan hutan lindung adalah perbaikan fungsi ekologi, sedangkan di kawasan hutan konservasi adalah pelestarian keanekaragaman hayati. Namun, usaha tersebut masih belum efektif dan terhambat oleh berbagai masalah, antara lain, penebangan liar, kebakaran hutan dan perambahan hutan yang disebabkan oleh tekanan dari peningkatan jumlah penduduk serta persaingan penggunaan lahan.

B. Meningkatkan produktivitas hutan dan lahan, serta kesejahteraan masyarakat

      Semakin luasnya wilayah hutan yang terdegradasi sebagai akibat dari kegiatan penebangan oleh perusahaan HPH yang tidak bertanggung jawab, tidak hanya di pulau Jawa melainkan juga di luar Jawa seperti Sumatera dan Kalimantan, tetap menjadi faktor pendorong utama yang melatarbelakangi program rehabilitasi di Indonesia pada kurun waktu antara tahun 1980-an dan 1990-an. Saat itu, tujuan utama dari berbagai kegiatan rehabilitasi adalah mengembalikan produktivitas lahan hutan dan melestarikan ekosistem hutan.
      Program meliputi rehabilitasi areal bekas penebangan melalui pengembangan hutan tanaman (HTI) menggunakan spesies cepat tumbuh, terutama di Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi (Widarmana 1984). Tujuan utama adalah peningkatan produktivitas hutan untuk mengurangi tekanan pada hutan alam. Namun demikian, sebagaimana dibahas pada  tidak semua hutan tanaman dikembangkan pada wilayah terdegradasi, dan telah mengakibatkan semakin meluasnya kawasan hutan yang rusak dan perlu direhabilitasi. Hal ini disebabkan oleh banyaknya areal HTI yang ditinggalkan karena sebagian besar pengusaha hanya tertarik pada hak IPK (Izin Pemanfaatan Kayu) melalui penebangan habis tegakan sisa.Pada tingkat proyek, faktor pendorong menjadi semakin kompleks sejak tahun 1980-an, terutama yang menyangkut aspek-aspek sosial-ekonomi yang sesungguhnya berawal dari rendahnya tutupan dan produktivitas hutan.

       Faktor-faktor tersebut meliputi kemiskinan atau rendahnya pendapatan masyarakat, terbatasnya sumber matapencaharian dan berkurangnya pasokan kayu serta hasil hutan bukan kayu. Pada saat yang bersamaan terdapat pula kebutuhan untuk meningkatkan kesadaran dan menangani pertumbuhan jumlah penduduk yang pesat. Oleh sebab itu, tujuan utama proyek rehabilitasi saat itu adalah meningkatkan tutupan hutan dan lahan, memproduksi kayu, pakan ternak dan kayu bakar, dan pada saat yang bersamaan, melindungi daerah aliran sungai kegiatan rehabilitasi menjaga fungsi ekologi hutan dan melestarikan tanah dan air.

      Perluasan tutupan hutan dan lahan akan mengurangi aliran permukaan, yang pada gilirannya akan mengurangi banjir dan sedimentasi. Dengan meningkatnya tutupan hutan dan lahan maka produktivitas hutan (termasuk hasil kayu maupun bukan kayu) akan meningkat dan kelestarian daerah aliran sungai akan terjamin.Rendahnya tutupan dan produktivitas hutan, erosi tanah, banjir, kebakaran dan kurangnya sumber air bersih merupakan masalah yang dominan dan kompleks yang memicu perlunya rehabilitasi hutan.

      Sesungguhnya, erosi, banjir dan kurangnya sumber air bersih semuanya merupakan dampak dari rendahnya tutupan hutan. Dengan demikian, berkurangnya tutupan dan produktivitas hutan dan lahan merupakan faktor pendorong utama untuk aspek ekologi yang melatarbelakangi kegiatan rehabilitasi; sementara banjir dan sedimentasi merupakan faktor penyebab tidak langsung. Tetapi pada kenyataannya, banjir dan tanah longsor cenderung menjadi faktor pendorong yang sangat kuat dan emosional untuk kebijakan dan pendanaan suatu proyek. Secara ekologi, dengan rendahnya tutupan hutan maka hutan tidak dapat memenuhi perannya sebagai penyangga lingkungan terutama dalam mencegah erosi tanah dan melestarikan sumber air. Hal ini mungkin dapat memperparah dampak bencana alam seperti longsor, banjir, dsb.
      Pada dasarnya, kegiatan rehabilitasi berusaha untuk meningkatkan tutupan lahan dengan cara menanam pohon yang akan menghasilkan tutupan lahan secara optimal melalui pembentukan multi lapisan tajuk.Sejak tahun 1980-an, tekanan dari komunitas internasional atas pengelolaan hutan yang lebih baik juga semakin meningkat, termasuk rehabilitasi kawasan hutan yang terdegradasi. Timbulnya inisiatif dari berbagai lembaga telah mendorong pemerintah untuk segera melakukan rehabilitasi di wilayah yang rusak demi mengurangi kecaman dari luar negeri. Situasi tersebut timbul ketika banyaknya bantuan dana dari donor serta munculnya inisiatif multi-pihak yang menjadi faktor pendorong dominan kegiatan rehabilitasi.Dari tahun 1990-an hingga sekarang, program rehabilitasi dilaksanakan sebagai reaksi terhadap semakin rumitnya permasalahan dan faktor yang menyebabkan degradasi, antara lain adalah: penebangan yang berlebihan, kebakaran hutan, perambahan dan konversi hutan serta penebangan liar.

      Oleh sebab itu, mempunyai tujuan ganda merupakan karakteristik penting kegiatan rehabilitasi pada periode ini, khususnya program rehabilitasi yang mengakomodir tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan memproduksi lebih banyak kayu dari hutan tanaman. Hal ini dilakukan untuk memenuhi kebutuhan nasional akan kayu dengan merehabilitasi lahan kritis, baik di dalam maupun di luar kawasan hutan.