Sabtu, 31 Desember 2011

Tujuan rehabilitasi dari konservasi hingga peningkatan kesejahteraan masyarakat


        Faktor pendorong yang melatarbelakangi munculnya inisiatif untuk melakukan kegiatan rehabilitasi dan tujuannya sangat dipengaruhi oleh fokus pengelolaan kehutanan pada masing-masing periode. Faktor pendorong kegiatan rehabilitasi selama zaman pra-kolonial adalah budaya dan kepercayaan. Selama periode tersebut, tujuan rehabilitasi adalah melindungi masyarakat dan menjamin kehidupan yang lebih baik bagi generasi penerusnya dengan menanam pohon jati. Pada tingkat proyek, faktor pendorong di balik kegiatan rehabilitasi, menurut persepsi anggota masyarakat dan staf proyek, mencakup aspek sosialekonomi, politik, dan ekologi. Perkembangan faktor penyebab dan tujuan kegiatan rehabilitasi nasional di Indonesia umumnya berfokus pada konservasi tanah dan air, peningkatan produktivitas hutan dan lahan, dan perbaikan tingkat kesejahteraan masyarakat.

A . Konservasi tanah dan air

      Eksploitasi sumberdaya alam yang berlebihan selama masa penjajahan Belanda dan Jepang merupakan penyebab utama yang melatarbelakangi usaha rehabilitasi selama periode kolonial hingga tahun 1960-an. Tujuan utamanya adalah menjaga tujuan nasional sejarah dan karakteristik kegiatan rehabilitasi hidrologi hutan melalui konservasi tanah dan air serta permudaan hutan berdasarkan sistem tumpang sari.Konservasi tanah dan air diartikan sebagai usaha untuk memelihara, merehabilitasi dan meningkatkan kapasitas penggunaan lahan sesuai dengan klasifikasi penggunaan lahan (Departemen Kehutanan 1998).

      Oleh karena itu, tujuan praktek konservasi tanah dan air adalah untuk meningkatkan produktivitas dan mengurangi dampak negatif dari pengelolaan lahan (terutama pengolahan tanah), seperti erosi dan sedimentasi (BP2TPDAS 2002). Pada prinsipnya, terdapat tiga metoda konservasi tanah dan air, yakni vegetatif, fisik-mekanik dan kimia (Agus dan Widianto 2004; Arsyad 2000). Metoda fisik-mekanik lebih dikenal dengan sebutan metoda sipil teknis.Konservasi tanah dan air, terutama setelah bencana banjir besar pada daerah aliran sungai di sekitar Solo yang terjadi pada tahun 1966, merupakan fokus utama kegiatan rehabilitasi hingga tahun 1970-an. Kegiatan tersebut terutama berupa tindakan penanggulangan erosi tanah di daerah dataran tinggi (hulu sungai) sebagai akibat dari deforestasi dan praktek pertanian yang tidak tepat. Hasil pengamatan terhadap tingkat sedimentasi di beberapa daerah aliran sungai di Jawa Barat, Tengah dan Timur (Mursidin et al. 1997), menunjukkan bahwa tingkat erosi tanah yang terjadi di wilayah dataran tinggi pulau Jawa cukup memprihatinkan.

      Selama tahun 1970-an dan 1980-an, kegiatan penebangan hutan yang dilakukan secara besar-besaran yang telah menyebabkan terjadinya bencana alam serta semakin luasnya wilayah terdegradasi, tetap menjadi faktor penting yang mendorong kegiatan rehabilitasi. Pada awal tahun 1970-an, sebagian besar wilayah terdegradasi terkonsentrasi hanya di pulau Jawa. Usahatani konservasi di lahan miring dengan menerapkan metode konservasi tanah dan air, yang mengkombinasikan teknik vegetatif dan sipil teknis, merupakan sistem yang paling efektif dan digunakan secara luas, khususnya di pulau Jawa.Pada umumnya, proyek dijalankan untuk mengatasi masalah erosi di daerah dataran tinggi yang curam serta banjir di daerah hilir sebagai akibat dari deforestasi dan berbagai kegiatan pertanian.

      Pada pertengahan tahun 1970-an dan awal tahun 1980-an, intensifikasi pertanian untuk meningkatkan keswasembadaan masyarakat dalam memproduksi tanaman pangan mulai menjadi bagian dari tujuan proyek. Proyek konservasi pertama yang menekankan pada aspek mata pencaharian masyarakat adalah inisiatif yang didanai oleh FAO pada tahun 1973 (Mursidin et al. 1997). Melalui Proyek Perlindungan Daerah Aliran Sungai Solo Hulu, berbagai model pengelolaan daerah aliran sungai dan teknik konservasi tanah dan air diuji untuk menanggulangi banjir dan mengelola lahan di daerah hulu dengan tujuan menyediakan lahan pertanian yang produktif bagi masyarakat.

      Sejak diberlakukannya Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) pada tahun 1984, konservasi telah menjadi tujuan khusus pada kegiatan rehabilitasi di kawasan hutan lindung dan hutan konservasi. Tujuan utama kegiatan rehabilitasi di kawasan hutan lindung adalah perbaikan fungsi ekologi, sedangkan di kawasan hutan konservasi adalah pelestarian keanekaragaman hayati. Namun, usaha tersebut masih belum efektif dan terhambat oleh berbagai masalah, antara lain, penebangan liar, kebakaran hutan dan perambahan hutan yang disebabkan oleh tekanan dari peningkatan jumlah penduduk serta persaingan penggunaan lahan.

B. Meningkatkan produktivitas hutan dan lahan, serta kesejahteraan masyarakat

      Semakin luasnya wilayah hutan yang terdegradasi sebagai akibat dari kegiatan penebangan oleh perusahaan HPH yang tidak bertanggung jawab, tidak hanya di pulau Jawa melainkan juga di luar Jawa seperti Sumatera dan Kalimantan, tetap menjadi faktor pendorong utama yang melatarbelakangi program rehabilitasi di Indonesia pada kurun waktu antara tahun 1980-an dan 1990-an. Saat itu, tujuan utama dari berbagai kegiatan rehabilitasi adalah mengembalikan produktivitas lahan hutan dan melestarikan ekosistem hutan.
      Program meliputi rehabilitasi areal bekas penebangan melalui pengembangan hutan tanaman (HTI) menggunakan spesies cepat tumbuh, terutama di Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi (Widarmana 1984). Tujuan utama adalah peningkatan produktivitas hutan untuk mengurangi tekanan pada hutan alam. Namun demikian, sebagaimana dibahas pada  tidak semua hutan tanaman dikembangkan pada wilayah terdegradasi, dan telah mengakibatkan semakin meluasnya kawasan hutan yang rusak dan perlu direhabilitasi. Hal ini disebabkan oleh banyaknya areal HTI yang ditinggalkan karena sebagian besar pengusaha hanya tertarik pada hak IPK (Izin Pemanfaatan Kayu) melalui penebangan habis tegakan sisa.Pada tingkat proyek, faktor pendorong menjadi semakin kompleks sejak tahun 1980-an, terutama yang menyangkut aspek-aspek sosial-ekonomi yang sesungguhnya berawal dari rendahnya tutupan dan produktivitas hutan.

       Faktor-faktor tersebut meliputi kemiskinan atau rendahnya pendapatan masyarakat, terbatasnya sumber matapencaharian dan berkurangnya pasokan kayu serta hasil hutan bukan kayu. Pada saat yang bersamaan terdapat pula kebutuhan untuk meningkatkan kesadaran dan menangani pertumbuhan jumlah penduduk yang pesat. Oleh sebab itu, tujuan utama proyek rehabilitasi saat itu adalah meningkatkan tutupan hutan dan lahan, memproduksi kayu, pakan ternak dan kayu bakar, dan pada saat yang bersamaan, melindungi daerah aliran sungai kegiatan rehabilitasi menjaga fungsi ekologi hutan dan melestarikan tanah dan air.

      Perluasan tutupan hutan dan lahan akan mengurangi aliran permukaan, yang pada gilirannya akan mengurangi banjir dan sedimentasi. Dengan meningkatnya tutupan hutan dan lahan maka produktivitas hutan (termasuk hasil kayu maupun bukan kayu) akan meningkat dan kelestarian daerah aliran sungai akan terjamin.Rendahnya tutupan dan produktivitas hutan, erosi tanah, banjir, kebakaran dan kurangnya sumber air bersih merupakan masalah yang dominan dan kompleks yang memicu perlunya rehabilitasi hutan.

      Sesungguhnya, erosi, banjir dan kurangnya sumber air bersih semuanya merupakan dampak dari rendahnya tutupan hutan. Dengan demikian, berkurangnya tutupan dan produktivitas hutan dan lahan merupakan faktor pendorong utama untuk aspek ekologi yang melatarbelakangi kegiatan rehabilitasi; sementara banjir dan sedimentasi merupakan faktor penyebab tidak langsung. Tetapi pada kenyataannya, banjir dan tanah longsor cenderung menjadi faktor pendorong yang sangat kuat dan emosional untuk kebijakan dan pendanaan suatu proyek. Secara ekologi, dengan rendahnya tutupan hutan maka hutan tidak dapat memenuhi perannya sebagai penyangga lingkungan terutama dalam mencegah erosi tanah dan melestarikan sumber air. Hal ini mungkin dapat memperparah dampak bencana alam seperti longsor, banjir, dsb.
      Pada dasarnya, kegiatan rehabilitasi berusaha untuk meningkatkan tutupan lahan dengan cara menanam pohon yang akan menghasilkan tutupan lahan secara optimal melalui pembentukan multi lapisan tajuk.Sejak tahun 1980-an, tekanan dari komunitas internasional atas pengelolaan hutan yang lebih baik juga semakin meningkat, termasuk rehabilitasi kawasan hutan yang terdegradasi. Timbulnya inisiatif dari berbagai lembaga telah mendorong pemerintah untuk segera melakukan rehabilitasi di wilayah yang rusak demi mengurangi kecaman dari luar negeri. Situasi tersebut timbul ketika banyaknya bantuan dana dari donor serta munculnya inisiatif multi-pihak yang menjadi faktor pendorong dominan kegiatan rehabilitasi.Dari tahun 1990-an hingga sekarang, program rehabilitasi dilaksanakan sebagai reaksi terhadap semakin rumitnya permasalahan dan faktor yang menyebabkan degradasi, antara lain adalah: penebangan yang berlebihan, kebakaran hutan, perambahan dan konversi hutan serta penebangan liar.

      Oleh sebab itu, mempunyai tujuan ganda merupakan karakteristik penting kegiatan rehabilitasi pada periode ini, khususnya program rehabilitasi yang mengakomodir tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan memproduksi lebih banyak kayu dari hutan tanaman. Hal ini dilakukan untuk memenuhi kebutuhan nasional akan kayu dengan merehabilitasi lahan kritis, baik di dalam maupun di luar kawasan hutan.

Deforestasi sebagai Sumber Emisi


        Dalam beberapa dasawarsa terakhir, Indonesia dikenal memiliki angka tinggi dalam hal  deforestasi, pembalakan liar, kebakaran hutan, dan konversi lahan gambut.  Semua ini menghasilkan emisi gas rumah kaca (GRK) yang tinggi.  Angka emisi yang tepat tidak pasti dan masih diperdebatkan karena banyaknya faktor yang harus diukur atau diperkirakan untuk mengembangkan angka estimasi emisi yang tepat (misalnya, waktu/tingkat keparahan kebakaran, kedalaman/penurunan permukaan gambut, deforestasi atau degradasi, persediaan karbon dari jenis hutan yang berbeda-beda).

      Estimasi mengenai emisi GRK dari hutan Indonesia menjadi pusat perhatian kembali  dalam konteks perdebatan mengenai perubahan iklim global. Tetapi, manajemen dan tata kelola kehutanan yang berkelanjutan telah lama menjadi perhatian di Indonesia, demikian halnya laju konversi hutan dan lahan gambut menjadi perkebunan dan untuk penggunaan yang lain. Isuisu ini sudah lama menjadi pokok kajian-kajian dan debat bertahun-tahun lamanya (lihat Bank Dunia et al., 2006 untuk tinjauan umum dari isu-isu sektor kehutanan).
      Perubahan iklim dan fokus pada emisi karbon memberi alasan lain untuk meningkatkan perhatian terhadap kebijakan dan manajemen isu-isu tersebut, khususnya karena isu-isu tersebut memiliki potensi untuk  membuka peluang sampai US$1 milyar dalam bentuk pembayaran untuk pelestarian hutan yang tersisa.  Emisi GRK hanya merupakan salah satu indikator dari isu-isu mendasar dari manajemen kehutanan yang perlu diperbaiki untuk meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi, dan proyeksi lingkungan hidup, sebagaimana dicerminkan dalam fokus pembangunan nasional tentang  “prorakyat miskin, pro-pekerjaan, pro-pertumbuhan.” 

      Belum lama ini, data dan analisis (dikutip dalam Dephut, 2008) menunjukkan penurunan dalam laju deforestasi. Gambar 3.9 membandingkan rata-rata kawasan yang mengalami deforestasi selama periode yang berbeda-beda, berdasarkan waktu informasi satelit dikumpulkan oleh berbagai organisasi yang berbeda.  Periode yang terkini, sejak tahun 2000, menunjukkan indikasi yang jelas bahwa deforestasi mengalami penurunan. Laju saat ini mungkin hanya sepertiga dari laju rata-rata yang diperkirakan pada tahun 1990-an.
       Data ini dari analisis hasil pemetaan (lihat juga gambar di bawah) yang dikembangkan dengan menggunakan citra yang lebih canggih dan rinci dari sistem satelit yang baru  (Hansen et al., 2007).  Hasil-hasil ini bergantung pada defi nisi hutan dan interpretasi tutupan lahan, tetapi ada indikasi yang jelas bahwa deforestasi mulai menurun dalam tahun-tahun belakangan ini. Selama periode krisis moneter dan desentralisasi (1997-2000) di Indonesia, kebanyakan analis percaya bahwa deforestasi sedang meningkat (Bank Dunia et al., 2006). Data ini menunjukkan hal yang sama dengan pendapat tersebut, tetapi juga menunjukkan bahwa pada tahun-tahun belakangan ini, laju deforestasi mungkin hanya sepertiga atau kurang dari laju rata-rata pada akhir tahun 1990-an. 

Peranan Hutan Dalam Mencegah Atau Menyesuaikan Terhadap Perubahan Iklim.


      Seperti telah dijelaskan pada halaman sebelumnya, peran hutan sangat penting sebagai pengemisi GRK dan juga sebagai penyerap dan penyimpan karbon. Hutan akan melepas GRK (terutama CO2) ke atmosfir ketika ditebang. Dengan menanam kembali tegakan dan mengembalikan keadaan hutan, maka karbon yang ada di udara akan diikat kembali ke dalam tanah dan tegakan melalui fotosintesis.

      Karena pentingnya peran hutan dalam memitigasi perubahan iklim, maka tindakan-tindakan seperti praktek pengelolaan hutan produksi lestari, pengawasan pengelolaan hutan konservasi dan lindung, pembatasan konversi hutan, pemberantasan illegal logging dan penanggulangan kebakaran hutan akan mengurangi emisi CO2 dan meningkatkan resiliensi ekosistem hutan terhadap perubahan iklim. Rehabilitasi lahan dan hutan terdegradasi, pengembangan hutan tanaman industri dan perkebunan lahan-lahan yang terdegradasi, serta kegiatan restorasi hutan akan meningkatkan kapasitas hutan dalam menyerap dan menyimpan karbon, yang pada akhirnya juga akan meningkatkan resiliensi ekosistem hutan terhadap perubahan iklim.

      Dengan demikian, pengelolaan hutan lestari berkontribusi positif terhadap upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Pengelolaan hutan lestari merupakan kerangka kegiatan yang efektif untuk mengurangi dampak dan penyesuaian terhadap perubahan iklim.

Manfaat Hutan Bagi Masyarakat Luas


1 Manfaat Lansung Hutan

      Manfaat lansung huatan adalah manfaat berupa hasil hutan yang bisa dimanfaatkan lansung bagi keperluan manusia. Manfaat ini mencakup :

2. Hasil Hutan Berupa Kayu

      Hutan sebagai penghasil kayu berupa hal yang lazim dipergunakan sebagai pemenuh kebutuhan hidup manusia. Hasil hutan berupa kayu yang sehari-hari kita pergunakan adalah berupa kayu log, sebagian bahan bangunan, kayu bakar, bahan baku industri mebel kayu, pulp/kertas dan sebagainya. Hasil hutan berupa kayu merupakan sumber daya alam yang dapat diperbaharui, tetapi untuk mengembalikan hutan yang telah ditebang memerlukan waktu yang cukup lama, mulai dari puluhan tahun, bahkan ada yang mencapai usia ratusan tahun lamanya untuk dapat di tebang kembali.

3. Hasil Hutan Bukan Kayu

      Disamping kayu, hutan juga menghasilkan bahan-bahan lain yang tidak kalah bermanfaat bagi manusia :
a.       Bahan makanan dari hewan baik berupa daging, telur, bahkan sarang maupun tumbuhan.
b.      Bahan kosmetik dan obat-obatan dari hewan atau tumbuhan yang ada di hutan.
c.       Bahan pakaian, misalnya kokon ulat sutra yang berkembang biak di hutan.
d.      Bahan perabotan, misalnya rotan dan lain-lain.

4. Manfaat Tidak Lansung Hutan

      Disamping memiliki manfaat lansung dari bahan-bahan yang dihasilkan baik itu berasal dari tumbuhan atau hewan, hutan juga memiliki sejumlah manfaat lainnya. Manfaat-manfaat ini berasal dari keberadaan hutan itu sendiri yang memberi pengaruh positif terhadap manusia maupun alam secara keseluruhan. Manfaat dari keberadaan hutan dapat dinikmati tanpa mengambil sesuatu apapun, baik berupa hewan, tumbuhan, atau bahan-bahan lain dari hutan tersebut. Oleh karena itu manfaat-manfaat tersebut disebut manfaat tidak lansung dari hutan.

5. Hutan sebagai penjaga lingkungan

      Lingkungan hidup kita terdiri atas :
1.      Lingkungan daratan
2.      Lingkungan air
3.      Lingkunga udara
Hutan hanya merupakan sebagian dari lingkungan daratan, namun keberadaan berpengaruh tidak hanya terhadap apa yang ada di darat namun juga segala yang  di air dan di udara. Pengaruh-pengruh tersebut timbul karena hutan memiliki fungsi-fungsi sebagai berikut :
a.       Pengendali air
b.      Pengatur suhu
c.       Penghasil udara bersih
d.      Sebagai tempat tumbuh yang baik bagi hewan dan tumbuhan
e.       Mencegah pengikisan tanah
Mari kita bahan satu persatu fungsi-fungsi tersebut

A.Pengendalian air

      Air adalah sumber kehidupan. Semua mahluk hidup yang ada di bumi, termasuk manusia, tidak akan hidup tanpa air. Dan para ahli berpendapat bahwa karena adanya airlah maka di bumi ini ada kehidupan, semuntara di palnet lain yang tidak ada airnya tidak terdapat sedikitpun mahluk yang hidup. Air tidak akan pernah habis, namun dia hanya berpindah tempat atau bentuk. Hutan, dalam hal ini berperan sebagai pengatur tata air. Caranya :
      Pada waktu hujan, air yang jatuh di lantai hutan tidak lansung mengalir ke sungai karena ditahan akar-akar tanaman. Pada saat yang bersamaan, lantai hutan akan menyerap dan menahan sebagian dari air tersebut. Air ini akan masuk kedalam tanah dan keluar ke suatu titik menjadi sumber air yang tidak akan kering bahkan dimusim kemarau. Dilain pihak, dengan tertahannya air yang jatuh di lantai hutan, maka jumlah air yang mengalir ke sungai atau ketempat yang lebih rendah akan berkurang baik jumlah maupun kecepatannya. Dengan demikian banjir dan tanah longsor yang sering kali di sebabkan aliran air yang berlebihan dapat dicegah.
      Air hujan yang jatuh ke tanah lalu lansung mengalir ke sungai akan membawa butiran-butiran tanah. Disatu pihak hal ini akan mengurangi kesuburan tanah, semuntara  disaat yang bersamaan juga menyebabkan air sungai menjadi keruh. Air yang keruh kurang layak untuk dipergunakan  entah untuk memasak, minum, ataupun mencuci. Sugai yang airnya keruh biasanya juga kurang banyak ikanya.
       Disamping itu, bila tidak ada pohon-pohonan hutan yang menahan laju air, maka air dalam jumlah besar akan lansung mengalir ketempat yang lebih rendah. Bila air ini tidak dapat lagi ditampung oleh sungai-sungai atau danau maka terjadilah banjir.

Kegiatan manusia yang mempengaruhi air

      Air tidak akan pernah habis walaupun terus digunakan. Hal ini dikarenakan air mengalami proses pendauran. Daur air akan terus berlansung selama ada sinar matahari. Kegiatan manusia sangat berpengaruh pada daur air. Terlihat bahwa hutan menjadi gundul akibat penebangan liar. Apa yang akan terjadi, pada daur air jika hal itu dibiarkan?
      Penebangan hutan secara berlebihan dapat menyebabkan tanah kering dan tandus. Jika hujan terjadi, air hujan lansung mengalir ketempat yang rendah. Air ini terus mengalir hingga sampai ke laut. Air yang mengalir akan mengikis tanah lapisan atas bahkan dapat menyebabkan bencana banjir.

B.Hutan sebagai pengatur suhu

      Panas matahari yang jatuh ke permukaan bumi sebagian dilepas kembali ke udara di atas permukaan tersebut. Artinya makin banyak panas yang jatuh maka makin banyak pula panas yang dilepaskan sehingga suhu udara di tempat tersebut pun mejadi bertambah pula.
      Namun di tempat hutan yang masih bagus, panas matahari yang jatuh ke permukaan bumi sebagian akan diserap oleh dau-daun pohon yang menutupi permukaan tersebut sehingga panas pun menjadi berkurang, maka panas yang dilepaskan kembalipun menjadi lebih sedikit. Sebagai akibatnya  suhu udara di tempat tersebut akan terkendalikan sehingga lebih nyaman bagi mahluk hidup.

C.Hutan sebagai penghasil udara bersih

      Hutan juga berfungsi sebagai penghasil udara bersih. Sebagian besar tumbuhan mengalami proses pembakaran zat-zat makanan yang disebut fotosintesis. Dalam proses ini tumbuhan menyerap zat karbondioksida (CO2) dan melepas zat oksigen (O2). Karbondioksida adalah zat yang dihasilkan oleh pernapasan hewan dan manusia serta oleh proses pembakaran, entah itu pabrik, dapur, mobil dan sebagainya. Zat ini memiliki  sifat menahan panas. Di tempat yang udaranya banyak mengandung karbondioksida, panas yang dilepaskan oleh permukaan bumi di tempat tersebut akan ditahan oleh zat tersebut untuk kemudian dipantulkan kembali ke permukaan bumi. Sebagai akibatnya, suhu dipermukaan bumi meningkat.
      Oksigen adalah zat yang di perlukan hewan dan manusia untuk bernafas. Tanpa oksigen kita semua akan mati. Padahal pada setiap kali bernafas kita menghirup sekian banyak oksigen dan mengubahnya menjadi karbondioksida, bayangkan di dunia ini hidup sekitar 2 milyiar manusia, ditambah hewan yang jumlah keseluruhan mungkin beberapa kali lipat manusia, dan mereka semua menghirup oksigen! Untunglah di dunia ini masih banyak tumbuhan sehingga pasokan oksigen selalu tersedia. Tetapi apa yang terjadi kalau tumbuh-tumbuhan  tersebut semakin berkurang?
      Udara yang segar adalah udara yang banyak mengandung oksigen dan sedikit sekali mengandung bahan-bahan yang dapat mengganggu kesehatan manusia. Udara yang seperti inilah yang dihasilkan tumbuh-tumbuhan yg ada di hutan.


Peranan Hutan Bagi Perekonomian Indonesia


Hutan sangat berperan dalam pembangunan Indonesia. Bahkan di awal-awal berdirinya Negara kita, ketika belum memiliki industri dan pabrik seperti saat ini, hasil hutan berupa kayu merupakan penyumbang terbesar bagi pendapatan Negara di samping pertambangan minyak dan gas. Dengan pendapatan inilah kemudian pemerintah membiayai pembangunan sekolah, jalan, rumah sakit dan fasilitas lainyan yang bermanfaat bagi masyarakat.
      Kini meskipun Indonesia telah menghasilkan banyak barang industri untuk diekspor, namun ekspor barang-barang yang berasal dari kayu masih menjadi andalan untuk mendapat pendapatan Negara. Disamping itu, hutan kita juga merupakan obyek wisata yang sangat digemari wisatawan mancanegara. Ribuan wisatawan setiap tahun datang ke Indonesia hanya untuk menikmati keindahan dan kesegaran berada di hutan tropis yang tidak ada di Negara mereka.
      Hutan juga menjadi sandarah hidup bagi sebagian besar penduduk Indonesia pemanfaatan hutan oleh penduduk meliputi :
      Sebagai sumber bahan pangan. Banyak jenis hewan dan tumbuhan hutan yang dijadikan bahan makanan oleh penduduk, baik daging, telur, daun, buah maupun akarnya.
     Sebagai sumber bahan untuk pembuatan rumah dan perabotan. Kayu, kulit, dan daun merupakan bahan utama untuk pembuatan rumah. Bahkan ada yang membangun rumah di atas pohon. Di samping itu hampir semua perabotan rumah dapat dibuat dari hasil hutan khususnya kayu.
      Sebagai sumber energi. Masih banyak penduduk Indonesia, khususnya yang tinggal di dalam atau di sekitar hutan, yang menggunakan kayu bakar untuk keperluan memasak maupun mengolah hasil kebun atau pertanian mereka.  Sebagai sumber bahan baku obat dan kosmetik. Sebelum meluasnya penggunaan obat kimia, bahkan sampai sekarang, banyak masyarakat kita yang menggunakan jenis-jenis tumbuhan dan hewan tertentu untuk pengobatan dan perawatan kecantikan.

Hutan


      Hutan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan kita. Hutan merupakan sumber kehidupan tidak hanya bagi penduduk di dalam atau di sekitar hutan tetapi bagi masyarakat luas bahkan bagi seluruh umat manusia.
      Menurut undang-undang kehutanan no.41/1999, hutan adalah “ suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan sumberdaya alam hayati didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungan yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan”. Berdasarkan pengertian ini, hutan harus memiliki cirri-ciri sebagai berikut :

      “kesatuan ekosistem”, artinya suatu kumpulan yang terdiri dari sejumlah benda hidup dan benda mati yang saling berhubungan. Benda hidup disini merupakan isi hutan yang dapat berupa hewan maupun tumbuhan. Benda mati yang berupa tanah, air dan udara menyediakan wadah lahan sumberdaya alam hayati, artinya tanah yang di atasnya terdapat tumbuhan dan hewan  serta benda-benda mati.

       “Dominasi pepohonan”, artinya hutan sebagian besar terdiri dari pepohonan. Pohon-pohon ini tidak hanya menjadi isi hutan tapi juga menyediakan wadah  dan topangan bagi mahluk-mahluk lainnya. Kemusnahan satu jenis makhluk hidup lainnya di dalam hutan tidak secara lansung akan memusnahkan hutan, namun apabila yang musnah tersebut adalah pepohonan maka musnah pula hutan tersebut.

      “Persekutuan alam lingkungan yang tidak dapat saling dipisahkan”, artinya antara benda-benda yang ada di dalam hutan terjalin saling bertergantungan. Hilangnya satu jenis mahluk akan berpengaruh terhadap keberadaan mahluk-mahluk lainnya. Sebagai contoh, bila tidak ada pepohonan maka binatang-binatang hutan akan banyak yang mati.

      Di Indonesia, apakah suatu lahan itu termasuk dalam wilayah hutan ditentukan pemerintah. Jadi bisa saja lahan yang tidak ada pohonnya dimasukkan dalam suatu wilayah hutan. Ini mungkin karena dulunya wilayah tersebut adalah hutan. Dalam wilayah seperti ini segala kententuan yang berlaku untuk wilayah hutan juga diberlakukan. Di lain pihak, bisa saja ada lahan yang ditumbuhi pepohonan namun oleh pemerintah ditentukan bukan sebagai hutan, misalnya sebagai lahan pertambangan.

1  jenis-jenis hutan berdasarkan fungsinya
      Hutan dapat dikelompokkan berdasarkan beberapa hal, diantaranya adalah fungsi hutan dan tempat tumbuhanya. Hutan memiliki banyak fungsi namun sering kali sebuah hutan hanya dimanfaatkan salah satu fungsinya saja. Fungsi hutan mana yang bisa dimanfaatkan harus diatur oleh pemerintah agar tidak terjadi tumpang tindih.
Di Indonesia, berdasarkan fungsi hutan dapat di kelompokkan menjadi :
2. Hutan Lindung.
      Hutan lindung adalah kawasan hutan milik Negara yang karena keadaan alamnya diperuntukan bagi pengaturan tata air, pencegahan bencana banjir dan erosi serta pemeliharaan kesuburan tanah. Menurut Undang-undang Kehutanan no. 41 tahun 1999, di dalam kawasa hutan lindung tidak boleh dilakukan kegiatan pengambilan hasil hutan, penebangan, pemukiman, dan sebagainya yang dapat berpengaruh terhadap mutu lingkungan air di dalam dan di sekitar hutan tersebut.

3. Hutan Produksi.

      Hutan produksi adalah kawasan hutan yang diperuntukan untuk menghasilkan hasil hutan khususnya yang berupa kayu. Namun ini bukan berarti di kawasan hutan produksi bisa kita seenaknya menebang kayu untuk mengambil hasil hutan lainnya. Kegiatan pemanfaatan hasil hutan di kawasan hutan produksi diatur oleh hukum agar tidak mengancam kelestarian hutan itu sendiri.

4. Suaka Margasatwa.

      Suaka marga satwa adalah kawasan hutan yang mempunyai keaneka-ragaman jenis hewan yang tinggi sehingga perlu dikelola agar tetap lestari. Di kawasansuka marga satwa segala kegiatan yang mengancam kelestarian hewan yang dilindungi di wilayah tersebut, misalnya berburu, mengambil telur, menangkap hewan, tidak diperbolehkan. Di Indonesia terdapat cukup banyak suaka margasatwa yang terkenal diantaranya adalah Ujung Kulon di propinsi banten.

5. Taman Nasional.

      Taman Nasional ditetapkan oleh pemerintah pada suatu area yang memiliki ekosistem yang masih asli. Yang dilindungi di area Taman Nasional tidak hanya hewan atu tumbuhannya saja tetapai keseluruhan lahan. Contoh Taman Nasional Tanjung Putting, TN G.Gede-Pangrango-Halimun-Salak, TN Meru Betiri dll.

Jenis-jenis Hutan Berdasarkan Kondisi tempat Tumbuhnya.

      Hutan terdapat di berbagai tempat di muka bumi dengan kondisi tanah, iklim, maupun ketinggian yang berada. Kondisi tanah tersebut ada yang subur, asam, berpasir, berlumpur, dan sebagainya. Iklim juga ada bermacam-macam, misalnya iklim basah (curah hujan tinggi sepanjang tahun), iklim kering (curah hujan tahunan rendah), atau iklim musim (memiliki beberapa musim dengan kondisi cuaca yang sangat berbeda ditiap musim).
      Demikian pula ketinggian, ada daerah pantai yang hampir sejajar dengan permukaan laut, ada daerah dataran rendah, pegunungan bawah, pegunungan menengah dan pegunungan tinggi.Perbedaan ini membuat hutan-hutan tersebut memiliki ciri khas masing-masing. Pembagian hutan menurut kondisi tempat hutan itu berada menurut whitmore (1990) dan soerianegara (1977) dalam barmawi dkk (2002), adalah sebagai berikut :

2.2.1. Hutan Pantai

      Yaitu hutan yang terdapat di daerah pantai berpasir. Jenis pohon yang biasa tumbuh di hutan seperti ini diantaranya adalah cemara laut, ketapang, serta kelapa. Hutan pantai di Indonesia banyak terdapat di Sumatra, jawa, bali dan Sulawesi.

2.2.2. Hutan Mangrove atau Payau

      Adalah hutan yang terdapat di daerah berair payau atau di muara sungai atau pantai. Biasanya hutan seperti ini terdiri dari pohon bakau sehingga sering pula disebut hutan bakau. Di pulau Kalimantan banyak sekali terdapat hutan bakau, baik di pesisir pantainya maupun di tepi-tepi sungai. Hutan-hutan ini merupakan tempat yang bagus sekali untuk mencari ikan karena ikan-ikan senang sekali bertelur dan berkembang biak di antara akar-akar pohon bakau.

2.2.3. Hutan Rawa

      Hutan ini terdapat di rawa yang tergenanang air terus menerus atau  pasang surut. Jenis pohon yang tumbuh di hutan rawa misalnya pohon rambai dan aren. Di Indonesia hutan seperti ini banyak terdapat di Sumatera, Kalimantan dan Irian jaya.

2.2.4. Hutan Rawa Gambut

      Hutan ini tumbuh di rawa gambut dengan kondisi tanah asam dan kurang subur. Jenis pohon yang sering terdapat di hutan rawa gambut adalah pohon galam, merapat dan ramin. Hutan seperti ini banyak terdapat di Sumatra dan Kalimantan.
      Dalam kondisi alami, lahan gambut berperan sebagai penyimpan karbon, di dalam tanah. Mereka menyimpan karbon dalam jumlah setara dengan yang dihasilkan emisi dari bahan bakar minyak bumi selama 100 tahun pada tingkat penggunaan saat ini. Sehingga dengan demikian, gambut berperan sangat penting terhadap terjadinya perubahan iklim. Pengelolaan yang tepat terhadap lahan gambut tropis sangat penting, karena kawasan ini lebih rawan terhadap kekeringan dan kebakaran.                
                
2.2.5. Hutan Hujan dataran Rendah

      Hutan ini terdapat di tempat dengan ketinggian sampai 100 meter dari permukaan laut dengan curah hujan yang tinggi. Hutan jenis ini merupakan jenis hutan yang subur dengan keanekaragaman hayati yang paling kaya. Banyak jenis pohon terdapat di sini, misalnya ulin, meranti, jabon dan sebagainya. Di Indonesia, hutan dataran rendah banyak terdapat di Sumatera, Klimantan dan Irian jaya.

2.2.6. Hutan Hujan pegunungan Bawah

      Hutan pegunungan bawah terdapat di daerah dengan ketinggian antara 100 sampai 200 meter dari permukaan air laut (dpl) dengan curah hujan yang tinggi. Jenis pohon yang biasa tumbuh disini misalnya kayu manis, aghatis, dan manggis-manggisan. Hutan hujan pegunungan bawah banyak terdapat di Sumatera, Jawa, Sulawesi dan Irian jaya.

2.2.7. Hutan Hujan pegunungan atas

      Hutan hujan pegunungan atas terdapat di daerah dengan ketinggian di atas 2000 meter dari permukan laut dengan curah hujan yang tinggi. Hutan jenis ini banya ditumbuhi perdu, sementara pohon-pohon yang berukuran lebih kecil. Hutan hujan pegunungan atas dapat ditemukan di Sumatera, Irian jaya dan Sulawesi
.
2.2.8. Hutan musim bawah

      Hutan musim bawah terdapat di daerah beriklim kering atau musim dengan ketinggian di bawah 1000 meter dpl. Di Indonesia, hutan musim bawah terdapat di Jawa, Nusa tenggara dan Sulawesi.

2.2.9. Hutan Musim Tengah dan atas

      Hutan musim tengah dan atas terdapat di daerah beriklim kering atau musim dengan ketinggian 1000 sampai 4100 meter dpl. Di Indonesia, hutan jenis ini terdapat di Nusa tenggara, Sulawesi dan Irian jaya.

2.2.10. Hutan Kerangas

      Hutan kerangas terdapat di daerah dengan kondisi tanah berpasir, miskin unsur hara dan cenderung asam. Di hutan kerangas cukup banyak tumbuh pohon dari jenis meranti, pelawan, bahkan ulin, namun biasa berukuran agak kecil sebagai akibat kondisi tanah yang kurang subur. Hutan seperti ini terdapat di Kalimantan dan Sumatera.

2.2.11. Hutan Savana

      Hutan savanna adalah hutan yang terdiri dari padang rumput dengan sejumlah pohon yang jarang berukuran besar. Di beberapa tempat pohon ini tumbuh cukup rapat sehingga terbentuk hutan yang cukup lebat pula. Hutan seperti ini terdapat di daerah yang kering seperti di Nusa tenggara.

2.2.12. Hutan tepi sungai

      Di sepanjang sungai-sungai besar di Kalimantan dan Sumatera juga banyak terdapat hutan yang tumbuh di tepian yang berlumpur. Di hutan seperti ini biasanya tumbuh pohon nipah, sagu atau rambai.

2.2.13. Hutan batuan ultra basa

      Di beberapa bagian Kalimtan, Irian jaya, Maluku dan Sulawesi, terdapat daerah yang tanahnya banyak mengandung batuan mineral dengan unsur logam yang sangat tinggi. Di daerah seperti ini juga banyak terdapat hutan dengan jenis-jenis pohon diantaranya adalah kemiri dan beberapa jenis meranti.

2.2.14. Hutan tanah kapur

      Di daerah dengan tanah kapur seperti di Irian jaya, Maluku dan Sulawesi kadang-kadang juga terdapat hutan. Hutan seperti ini ditumbuhi pohon dengan keanekaragaman jenis yang lebih sedikit. Pohon jati dan pohon eboni merupakan jenis pohon yang terdapat di hutan kapur. Kita wajib bersukur karena di Indonesia pada umumnya di Kalimantan pada khususnya banyak terdapat hutan dari berbagai jenis. Dengan keanekaragaman jenis hutan kita. Beberapa Negara kurang beruntung karena hanya memiliki hutan denga jenis yang kurang beragam. Di Autralia, misalnya, yang sering kita jumpai  hanyalah hutan savanna.

1. Peranan Hutan dalam Perubahan Iklim Global.


     1.1. Perubahan Iklim
      Perubahan iklim adalah setiap perubahan nyata yang dapat diukur faktor iklimnya (seperti temperatur atau tingkat penguapan) dalam setiap periode waktu (contohnya setiap satu dekade). Terjadinya perubahan iklim telah banyak dibuktikan secara ilmiah. Musim kemarau yang semakin panjang serta musim penghujan yang relative pendek dengan itensitas hujan yang tinggi merupakan bukti nyata adanya perubahan iklim.
    Hal ini berdampak pada berbagai aspek kehidupan manusia seperti kekeringan yang berkepanjangan, gagal panen, krisis pangan, air bersih, pemanasan muka laut serata banjir dan longsor. Dampak dari perubahan iklim akan sangat dirasakan Negara berkembang yang paling menderita karena tidak mampu membangun struktur untuk beradaptasi, walaupun Negara maju juga merasakan dampak perubahan iklim.
1.2. Penebab Perubahan Iklim
      Ketika bumi menerima panas dari matahari, secara alami sebagian panas akan terperangkap di atmosfir akibat adanya beberapa jenis gas. Gas-gas yang menangkap panas tersebut dikenal sebagai gas rumah kaca (GRK) karena cara kerjanya mirip rumah kaca (greenhouse), dimana suhu di dalamnya diatur agar cukup hangat sehingga tanaman dapat tumbuh. Terperangkap panas oleh gas-gas di atmosfir dikenal istilah ‘efek rumah kaca’.

      Sebenarnya efek rumah kaca diperlukan agar permukaan bumi cukup hangat untuk didiami. Sayangnya, aktivitas manusia membuat kosentrasi GRK semakin tinggi dan menyebabkan suhu permukaan bumi semakin panas sehingga terjadinya perubhan iklim. Emisi (gas yang dikeluarkan) dari pembangkit listrik dan kendaraan bermotor yang menggunakan bahan bakar fosil seperti minyak bumi dan batu bara, merupakan sumber utama karbondioksida (CO2). Gas ini merupakan GRK yang memiliki pengaruh yang cukup terbesar terhadap terjadinya perubahan iklim. Karbondioksida juga terkandung dalam jumlah besar pada pohon sehingga kebakaran dan penebangan hutan menyebabkan meningkatnya kosentrasi GRK. Panas matahari yang jatuh ke permukaan bumi sebagian dilepaskan kembali ke udara di atas permukaan tersebut. Artinya makin banyak panas yang jatuh maka makin banyak pula panas yang dilepaskan sehingga suhu udara di tempat tersebut pun menjadi bertambah pula. Ada 6 jenis GRK penting yang menyumbang terjadinya pemanasan global dan perubahan iklim yaitu CO2 (karbondioksida penyumbang terbesar pemanasan global), N2O (nitrogen oksida), CH4 (metan), HFCs (hydrofluorocarbons), PFCs (perfluorocarbons), dan SF6 (sulphur hexafluorida). Pemakaian pupuk buatan pada pertaniaan menghasilkan N2O.

      selain itu, pembusukan pakan ternak, kotoran hewan, dan sampah organik akan melepas gas metana (CH4). Proses serupa terjadi pada tanah tergenang air seperti daerah rawa dan persawahan. Hal-hal tersebut menunjukan bahwa peternakan, sawah, dan tempat pembuangan sampah ikut meningkatkan GRK. Beberapa kegiatan lain menghasilkan GRK yang menyerap panas dengan kekuatan sangat tinggi walaupun kosentrasinya sangat rendah. Penggunaan beberapa jenis gas untuk Freon AC dan campuran produk kaleng semprot serta proses produksi beberapa industri, terutama peralatan listrik, juga menghasilkan GRK. Fakta menunjukan bahwa industri di Negara maju telah menyumbang emisi GRK sebesar 70%, yang berasal dari sektor energy, transportasi, industri, bangunan dan energi lainnya. Sedangkan emesi yang dihasilkan Negara berkembang hanya 30%. Ini lebih banyak berasal dari sektor non-energi seperti sampah, pertanian dan penggunaan lahan, termasuk penebangan hutan.

1.3. Sektor-sektor yang menyumbangkan emisi GRK

      Sektor yang menyumbangkan emisi (pembuangan) GRK terbesar 70%, yang berasal dari sektor energi : 25.9 % (energi yang menggunakan bahan bakar fosil seperti minyak bumi dan lain-lain.). kemudian disusul dengan sektor industri : 19.14 %. Berikutnya adalah sektor kehutanan : 17.4 %, sektor pertanian sebesar 13.5 %, sektor transportasi : 13.1 %, kegiatan pemukiman : 7.9 % dan terakhir limbah sebesar 2.8 %. Sektor kehutanan merupakan salah satu sumber pengemisi Gas Rumah Kaca yang cukup besar yaitu menyumbang 17-25 % dari emisi Gas Rumah Kaca global. Sekitar 75 % dari emisi ini berasal dari Negara tropis dan umumnya merupakan hasil dari konversi hutan ke pegunungan lain (deforestasi) dan degradasi hutan.  Akan tetapi, keberadaan hutan dalam konteks perubahan iklim global dapat berperan baik sebagai penyerap dan penyimpan karbon (carbon sink) maupun sebagai sumber emisi. Mengenai hal ini akan dijelaskan lebih lanjut di halaman-halaman berikutnya.

1.4. Dampak Perubahan iklim pada Kehidupan dimasa mendatang

   Dampak perubahan iklim akan mempengaruhi seluruh aspek kehidupan contohnya antara lain :
1.      Perubahan iklim dan cuaca akibat peningkatan suhu sejak tahun 1990, suhu rata-rata tahunan meningkat sekitar 0.3 derajat celcius. Akibatnya adalah peningkatan itensitas curah hujan, yang sudah tentu meningkatkan resiko banjir secara signifikan, kenaikan permukaan air laut, yang akan menggenangi daerah produktif pantai. Mempengaruhi pertanian dan penghidupan pantai termasuk pertambakan ikan dan udang, produksi padi dan jagung.
2.      Ancaman terhadap keamanan pangan sebagai akibat perubahan iklim pada bidang pertanian.
3.      Pengaruh terhadap kesehatan manusia, merebaknya penyakit yang berkembang biak lewat air dan vector seperti malaria  dan deman berdarah.
4.      Menurunya qualitas dan quantitas air, jumlah persedian air akan berkurang akibat musim kering berkepanjangan, yang akan berpengaruh terhadap produksi pertanian.
5.      Berkurangnya keanekaragaman hayati karena diperkirakan 20-30% jenis-jenis tanaman dan hewan akan langka karna dampak kenaikan temperature global
1.5. Peranan hutan sebagai penyimpan dan pengemisi GRK
     Emisi GRK yang terjadi di sektor kehutanan di Indonesia bersumber dari deforestasi (konversi hutan untuk penggunaan lain seperti pertanian, perkebunan, permukiman, pertambangan prasarana wilayah) dan degradasi (penurunan kualitas hutan) akibat illegal logging, kebakaran, over cutting, perladangan berpindah dan perambahan.
      Semuntara itu, vegetasi dan tanah menyimpan kurang lebih 7.500 Gt CO2 (> 2 x CO2 di atmosfir). Hutan menyimpan – 4.500 CO2 (> CO2 di atmosfir). Deforestasi mengemisi sekitar 8 Gt CO2 per tahun (WRI, 2002). Apabila diforestasi merupakan 17-18 % dari masalah (emisi GRK), maka bila kita melakukan pencegahan atau pengurangan  deforestasi dapat menjadi 17-18 % dari solusi pula ini juga jadi peluang REDD (peluang mendapatkan dana dari skema Reduce Emission from deforestation and forest degradation).

      Jumlah karbon yang dapat diserap hutan sangat tergantung dari jenis/tipe dan karakterlistik hutan. Hutan tropis dapat menyimpan karbon sekitar 40 % dari hutan dunia. Tegakan di hutan tropis dapat menahan karbon sekitar 50 % lebih besar dari kapasitas tegakan di luar hutan tropis. Itulah sebabnya di hutan tropis memainkan peranan penting dalam menstabilkan GRK karena kapasitasnya yang besar dalam menyimpan  dan menyerap karbon, dan juga dalam melepas karbon, dan juga melepas karbon akibat kegiatan deforestasi maupun degradasi hutan yang dijelaskan tadi. Karena peranan hutan begitu penting dalam stabilisasi GRK dan pembangunan berkelanjutan, maka marilah kita kenali apa yang dimaksud dengan hutan dan berbagai jenis hutan.

Sabtu, 10 Desember 2011

MENJUAL KEAJAIBAN ALAM DI HUTAN GAMBUT


Ingat Ketapang, Kalbar benak turis luar negeri langsung pada Taman Nasional Gunung Palung (TNGP) dengan habitat orangutan. Binatang dilindungi ini pun sudah dikenal seluruh dunia. Selain di TNGP yang wilayahnya meliputi Kayong Utara dan Kabupaten Ketapang, habitat orangutan justru ditemukan di kawasan gambut. Tak percaya, anda bisa buktikan sendiri dengan datang ke Ketapang, yakni kawasan gambut Desa sungai putri, Kecamatan Matan Hilir Utara.

KEUNIKAN lahan gambut secara alami dapat dilihat pengunjung di tempat ini. 
Hamparan hutan gambut merupakan bagian kecil dari ribuan hektar lahan gambut yang ada di Ketapang. Gambut ini menghampar dari Desa Kuala Tolak-Tanjung Baik Budi-Sungai Putri-Sungai Awan-Ulak Medang-Tanjung Pasar-Pelang-Pematang Gadung-Sungai Besar. Sebagai benteng alam gambut tak hanya sebagai penyerap air, kawasan gambut merupakan habitat orangutan.

Kawasan gambut ini merupakan dataran rendah yang berhubungan dengan TNGP. Siklus kehidupan orangutan tidak hanya berkeliaran di pegunungan. Dalam waktu tertentu,  mamalia ini mencari makan di lembah yakni kawasan gambut. Populasi orangutan di kawasan ini masih dalam penyelidikan. Jika di TNGP diperkirakan hanya tinggal sekitar 2.000 ekor, maka  diprediksi orang utan inilah yang melakukan “pengembaraan” di lahan gambut karena hamparan hidup di gunung dan lembah tak dapat dipisahkan satu sama lain.

Selain melihan lansung kehidupan orangutan di alam bebas, pengunjung bisa melihat sarang orangutan. Flora dan fauna di lahan basah pun bisa ditemukan di sini. Kawasan ini pun sangat cocok sebagai lokasi bird watching (pengamatan burung). Lokasi hutan rawa gambut di sungai putri berjarak sekitar 23 KM dari kota ketapang. Sebelum mencapai kota ketapang, turis bisa menggunakan pesawat dari bendara supadio 

Pontianak menuju lapangan terbang rahadi oesman ketapang, ditempuh sekitar 30 menit, denga biaya sekitar Rp 500 rb per orang. Selain menggunakan transportasi udara, mencapai ketapang dari kota Pontianak bisa ditempuh menggunakan kapal cepat dengan biaya sekitar 200 rb dengan perjalanan sekitar 6 jam.
Di kota ketapang, untuk mendapatkan penginapan tak terlalu sulit. Ada sejumlah hotel di pusat ibukota, mulai dari Aston city, Hotel pedana, Hotel tanjung, Hotel aorta, Hotel anda, dan sejumlah penginapan lainanya. Demikian juga dengan jasa transportasi dan makanan. tak membuat pengunjung kesulitan mendapatkannya. Dari kota ketapang mencapai desa sungai putri perjalanan hanya ditempuh sekitar 30 kilometer atau sekitar 30 menit.

Di lahan basah inilah terdapat habitat aneka jenis flora dan fauna khas Kalimantan. Mulai dari primata seperti orangutan, monyet, dan buaya. Begitu pula flora seperti anggrek hitam, kayu ramin (gonystilus bancanus), kayu nyatoh (palaquium ssp), kayu punak empas atau bengeris kompassia (malaccensis), punak (tentramerista), sejumlah pohon buah kayu rawa ini merupakan makanan bagi orangutan.

Kawasan ini jugu merupakan siklus hidup orangutan dari kawasan TNGP (Taman nasional gunung palung). Hutan gambut desa sungai putri ini tidak dipisahkan dari hamparan hutan gambut ketapang sekitar 70.000 hektar, selain pernah diusulkan forest management specialist fauna flora internasional program ketapang, dijadikan kawasan konservasi agar bisa mencegah kerusakan hutan dan bisa menyelamatkan habitat orangutan (pongo pygmeues wurmbii) yang saat ini populasinya sebanyak 500-900 ekor. Seperti yang pernah di sampaikan oleh Iis Sabarudin, pada kawasan hutan menjadi habitat 118 jenis burung, empat jenis diantaranya jenis burung endemik. Semuntara satwa liar yang juga mudah dijumpai di sana adalah bekantan (Nasalis larvatus ) dan lutung (presbytis cristata).

Hamparan lahan gambut ini menjadi salah satu habitat hewan yang dilindungi seperti orangutan, buaya dan lain-lain. Habitat fauna yang dilindungi ini menjadikan lahan basah satu daya tarik khusus ketapang di mata dunia internasional. Mulai dari pengamatan burung Asia Fasifik, bahkan turis asing datang ke ketapang. Bahkan pemerintahan jepang pernah mengirim jurnalistiknya untuk mengupas keberadaan lahan basah seluas lebih kurang 70.000 hektar ini.